Tuesday, February 4, 2014

Dikhianati Itu Sakit…Bersabarlah!

Dikhianati itu sakit. Diduakan itu sakit. Apalagi ditigakan atau di empatkan, juga sakit. Disakiti pasangan, suami, istri, kekasih, dan sahabat itu sakit.

Tidak dalam waktu singkat saya memelajari “kesakitan-kesakitan penuh makna” semacam itu. Saya menyebutnya sebagai “kesakitan-kesakitan yang indah”. Sebab, penghayatan-penghayatan yang mendalam terhadap kejadian demi kejadian, menjadikan saya mengerti. Bahwa hidup tidak harus habis untuk urusan kebendaan, percintaan, dan berkasih-kasihan antara lelaki dan perempuan. Masih banyak tugas-tugas lain yang juga boleh dikerjakan dengan sungguh-sungguh.

Hampir setiap perempuan yang mengetahui suaminya memunyai perempuan lain, menderita kekhawatiran, lalu merespon dengan dahsyat. Jangan-jangan, suaminya (maaf) meniduri, berbagi kenikmatan sex, berbagi kehangatan tubuh dan berbagi isi dompet dengan perempuan lain.

Menulis kata “meniduri” dan “kenikmatan sex”, tidak begitu nyaman bagi saya. Tapi demi “tuntutan scenario/kelengkapan tulisan”, saya harus menulisnya.

“Pengkhianatan” macam itu memang menyakitkan, menjengkelkan, menggemaskan dan menyulut kedendaman. Dalam keadaan sangat marah, urusan kesakitan macam itu, sering mengalahkan perhatian seorang hamba kepada Tuhannya. Padahal dalam keadaan normal, janjinya, bakal mencintai Tuhannya lebih dari apapun dan siapapun. Untuk itulah dibutuhkan upaya yang sungguh-sungguh. Agar hati mencapai keadaan seimbang.

Ahh…mbak Ridha…, teorinya memang gampang! Namun, praktiknya tidak semudah membalik tangan!

Oh ya! Praktiknya memang tidak semudah membalik tangan! Saya belum pernah bilang ini sesuatu yang mudah. Ini sebuah “ketrampilan” yang perlu latihan.

Mungkin menangis sesaat adalah obat, tetapi jangan panik. Selalu tarik nafas panjang dan hembuskan pelan-pelan…tarik lagi dalam-dalam dan hembuskan pelan-pelan. Ini memang kegiatan latihan “tingkat tinggi”. Ia yang sanggup berlatih, akan sanggup menjaga keadaan dirinya tetap tenang, dan terjaga dalam keseimbangan. Lalu menyelesaikan dengan baik persoalan-persoalan yang perlu diselesaikan.

Mudah-mudahan pengalaman saya menginspirasi, bila terjadi sesuatu yang menyakiti diri.

Seperti yang lain, saya pun pernah dihadapkan pada prahara. Ketika tersadar mengapa saya bukan khawatir ditinggal oleh Yang Maha Setia, namun justru sibuk mengejar yang tidak bisa dipercaya, saya malu sendiri. Saya memperhatikan diri saya. Arah saya berjalan, berlari dan menuju, rupanya keliru.

Saya bukan lagi bertutur kepada Yang Maha Pengatur, mohon agar jalan saya diatur sedemikian rupa sehingga mudah saya ikuti dan jalani. Namun saya justru berlari jauh meninggalkanNya, lalu berfokus kepada mereka yang menyakiti saya. Padahal kesakitan-kesakitan macam itu, bisa saja sedang antre menunggu giliran di luar sana. Saya pikir, pasti saya akan kelelahan nantinya.

Saya segera putar balik. Berfokus kepada bagian-bagian penting pada kehidupan saya selanjutnya.

Kesakitan-kesakitan indah itu mengajarkan sesuatu yang sungguh bermakna. Akhirnya saya mengerti, bahwa ia yang menyakiti, sesungguhnya sedang mengajari saya tentang cinta, kemuliaan dan kesabaran hati. Berhenti mengejar dan meminta cinta dari orang yang sudah tidak mencinta, adalah pelajaran tentang CINTA (itu sendiri), KEMULIAAN dan KESABARAN HATI.

Sampailah pada suatu ketika, saat saya akhirnya, memberanikan diri mengirim pesan kepada pribadi yang pernah “menyakiti” saya.

“Salam. Semoga keadaan mas baik dan sehat. Sengaja kukirim ini untuk meminta maaf. Aku minta maaf atas kesalahan yang mungkin kulakukan tapi tidak sempat aku merasa berbuat salah. Aku pasti berkontribusi atas kejadian yang tidak membahagiakan waktu itu. Aku minta maaf… Aku juga ingin mengucapkan terima kasih atas “pelajaran-pelajaran indah” yang telah mas ajarkan padaku. Terima kasih banyak ya…! Pelajaran-pelajaran itu mendewasakanku. Jika “pelajaran-pelajaran” itu tidak mas ajarkan, mungkin aku tidak akan sampai di sini, seperti keadaanku yang sekarang. Salam.”

Dan ia, ternyata membalas pesan saya, demikian:

“Salam Arie, aku yang seharusnya meminta maafmu. Kamu perempuan hebat . Hatimu sangat mulia. Aku yakin kamu tangguh dan sanggup menjalani hidupmu dengan baik. Jaga dirimu baik-baik. Aku selalu mendoakanmu. Salam.”

Membaca pesannya, saya meneteskan air mata bahagia. Bukan karena ia memuji saya secara berlebihan. Tetapi lebih karena, saya akhirnya sanggup melunasi “hutang saya”, membersihkan hati dari segala yang kotor dan menyakiti. Saya, seperti tidak percaya mampu berdamai dengan diri saya. Juga berdamai dengan sosok yang saya nilai sebagai menyakiti saya, padahal sesungguhnya ia mengajarkan pelajaran-pelajaran penting bagi kehidupan saya selanjutnya. Saya, akhirnya mampu meruntuhkan ketinggian hati saya yang sempat saya pelihara bertahun-tahun. Dan ini membuat hidup saya, jauh lebih baik dari sebelumnya.

Jadi?

Disakiti memang sakit. Tapi kesakitan-kesakitan itu bermakna. Sebab kesakitan-kesakitan itu sesungguhnya membantu kita untuk belajar lebih banyak lagi hal-hal yang tidak biasa. Inilah salah satu faktor mengapa saya sangat tertarik memelajari hal-hal yang relevan dengan ketidakbahagiaan. Menjadi pemerhati masalah ketidakbahagiaan.

Kini saya mengerti bahwa, pelajaran-pelajaran sepanjang hidup, tidak mungkin diberikan Tuhan melalui para guru kehidupan, jika memang tidak ada relevansinya dengan kehidupan kita selanjutnya. ***

Terima kasih sudah membaca. Terima kasih Allah SWT. Terima kasih kepada semua yang menginspirasi. Salam bahagia dan terus berkarya!

No comments:

Post a Comment