Sunday, February 2, 2014

Jangan Mainkan Perasaan Orang Lain

Aku berniat menghadiri walimahan (pernikahan) salah satu guru kesayanganku. Pastilah, aku pengen memberikan hadiah terbaik untuk guru yang namanya tertulis di kertasku ketika aku disuruh menuliskan nama guru yang paling aku gemari. Memang sih, guruku itu adalah seorang pembuat aturan-aturan yang berlaku di SMPIP Baitul Maal, yang katanya, sekolahku itu terkenal dengan aturan ketatnya itu. Tapi, tak ada alasan kan untuk mengidolakannya?

Aku begitu semangat dan merelakan segalanya untuk bisa hadir, walau hanya ke acara resepsinya. Waktu itu, aku dapat informasi bahwa untuk hadiah pernikahan guruku itu, dibeli secara patungan. Kalau secara patungan, tentu hadiah itu atas nama bersama. Terutama yang disuruh patungan, yaitu seluruh anak kelas 8B. Aku dapat jarkoman itu berupa SMS. Lucunya, aku dapat 3 kali SMS yang sama. Well, oke oke.

Aku sudah bawa uang dengan nominal yang diinginkan. Aku juga berangkat bersama rombongan anak kelas 8B kecuali Asma, Dina, Salsa, dan Dea. Aku datang terlambat, karena aku kesulitan menentukan dress. Dari kejauhan, aku sudah melihat mereka yang menunggu sambil membawa plastik besar berisikan kado yang dibalut dengan bungkus kado yang manis.

Begitu dapat angkot, aku pun langsung menyerahkan uang patungan seperti yang disuruh. Kan nggak enak pake uang orang untuk nutupin hutang aku. Langsung deh aku tanya yang lain, ke siapa seharusnya aku bayar. Aku tanya Nurul, malah lempar ke yang lain. Daritadi lempar-lemparan aja. Akhirnya sampailah pada Alifa. Aku udah mau ngasih uangnya, tapi malah ditolak. Wah nih anak banyak uang kali ya, baik bener. Tapi aku tetep nggak enak, bagaimana pun juga itu adalah guru kesayanganku, harus ada pengorbanan. "Ih yang bener aja! Ini!" sambil menyerahkan uang. Tapi tetep aja ditolak. "Udah, uni nisa nggak usah kok". Akhirnya aku mengalah. Tapi hati berat juga. Aku mikir terus menerus, nggak enak.

Nggak lama setelah mereka mulai dengan sesi foto-foto di angkot, ada yang inisiatif fotoin kartu ucapan yang tertempel di kado yang ukurannya besar itu. Dengan penasaran, aku baca kartu itu. Kata-kata yang ditulis memang keren, tapi...

Parah.

Aku syok parah menyadari bahwa namaku nggak tercantum disitu. Gila, seketika aku mau nangis sejadi-jadinya. Kejam sangat. Parah parah parah. Gak nentu detak jantungku saat itu juga. Bener deh, bukannya bombastis, tapi saat itu juga organ aku nggak mengizinkan aku bicara. Mulut tuh kayak udah terkatup rapat, tenggorokan kayak kering, dan sepertinya tenagaku udah habis total dihisap entah kemana. Aku nggak bisa ngomong apa-apa lagi. Parah. Speechless. Diem dan lemes banget. Sedangkan yang lain ketawa-ketawi sampai bapak-bapak dengan bringasnya negur mereka karena terlalu berisik.

Aku berusaha bersikap biasa saja, padahal sesungguhnya aku benar-benar mau memuntahkan segala amarahku seketika itu juga.

Sesampainya di lokasi, rombonganku menyerahkan kado besar yang istimewa itu kepada panitia. Kado yang di dalamnya tidak ada namaku. Tidak ada diriku, cintaku. Aku memandanginya kosong, menahan segala kemungkinan yang terjadi padaku. Menahan dan kemudian berbalik, sebagai pertanda aku harus mulai berusaha baik-baik saja.

Terkejut dan marah bukan main saat orang tuaku mengetahui bahwa uang yang aku bawa untuk patungan masih utuh karena alasan tersebut. Orang tuaku sama sekali tidak menyangka, begitu juga aku. Aku tak tahu bagaimana nantinya. Kalau dipikir, mereka pasti akan tahu bagaimana nasibku akan ini setelah mereka melakukan hal tersebut. Tapi realitanya, mereka melenggang tak mau tahu.

Ah, biar Allah yang menilai.

Sampai di rumah, aku tak tenang memikirkan itu. Kamar adalah tempat yang baik untuk menumpahkan apa yang tadi ditahan. Setidaknya, dengan berbagi pengalaman disini, akan akan meninggalkan pelajaran yang bisa diambil hikmahnya oleh orang lain. Hal ini tidak akan menjadi begitu menyakitkan, setelah tahu bisa berbagi dengan orang lain untuk dijadikan pembelajaran.

Mungkin inilah sebab mengapa orang berkata bahwa saat mengalami masalah, kita sebaiknya bercerita agar perasaan kita tenang. Secara realistis, dengan bercerita bukanlah jalan yang pasti akurat untuk menyudahi masalah kita. Namun dengan berbagi cerita seperti ini, akan menjadi pembelajaran yang baik untuk orang lain tersebut. Mungkin itulah yang membuat masalah menjadi tidak terlalu perih untuk dijalani, yaitu dibalik masalah itu, ada pembelajaran yang berharga bukan hanya untuk yang mengalami masalah, namun juga orang yang tahu-menahu dengan masalah tersebut.

Menulis hal ini di blog ini bukan bermaksud untuk men judge teman-temanku itu salah. Bukan. Sekali lagi bukan. Aku juga sama sekali tak berharap mereka membaca ini, barang 1 kata pun. Aku sama sekali tak menginginkannya. Aku tak butuh itu. Aku juga tak tahu, kapan akhirnya mereka sadar bahwa mereka telah menyakiti hati temannya, yang sudah dikirimi jarkom untuk patungan. Aku tak mengharapkan itu.

Yang penting adalah orang lain bisa mengambil pelajaran dari masalah ini. Bahwa jangan pernah mempermainkan perasaan orang lain.

No comments:

Post a Comment