Sunday, February 2, 2014

Masalahkah Jika Aku Berbeda?

Tidak ada satupun orang dimuka bumi ini diciptakan dengan segala kekurangan tanpa kelebihan. Tidak ada teman. Percayalah, masing-masing kita memiliki kelebihan.
Dulu, ketika masih SMA, aku pernah berfikir bahwa aku adalah makhluk Tuhan yang paling bodoh karena tidak memiliki sedikitpun potensi untuk dibanggakan.  Bagaimana tidak, dibandingkan dengan kedua kakakku, aku adalah anak satu-satunya di keluargaku yang selalu mendapakan angka merah di rapor untuk mata pelajaran IPA yaitu Fisika dan Kimia. Lain halnya dengan kedua kakaku yang selalu membanggakan kedua orang tuaku dengan prsetasi yang mereka raih. Bang Rahmat si jago Fisika dan dan Kak Ratna si jago Kimia selalu menjuarai olimpiade sampai tingkat Nasional. Satu lemari sudah takcukup untuk menampung segala medali dan trophy yang mereka peroleh dari even-even perlombaan.
Sementara aku hanya menyumbangkan dua buah piala saja. Itupun dalam lomba baca puisi dan menulis cerpen tingkat provinsi. Kedua piala itupun tak bisa membuat kedua orang tuaku bangga padaku. Karena ayahku yang lulusan ITB itu menginginkan anak-anaknya melanjutkan langkahnya.
Masih ku ingat pembicaraanku dengan kak Ratna di ruang tamu tiga tahun silam. Ya, masih dengan tema membujukku untuk belajar dengan giat tekun agar aku menyukai Fisika dan Kima. Sehingga bisa membanggakan orang tua kami seperti yang telah dia dan bang Rahmat lakukan.
“Dik, aku lulus di ITB. Bulan depan aku harus sudah berada Bandung.” Kata kak Ratna berusaha membuka pembicaraan waktu itu. Ketika aku tengah sibuknya dengan designan mading sekolah.
“Trus, apa hubungannya dengaku?” Jawabku datar.
“Kamu tau gak sih, betapa bangganya Papa ketika aku lulus di ITB?.” Imbuhnya lagi.
“Trus, aku juga harus berbangga gitu dengan kelulusan kakak di ITB?” jawabku dengan nada yang agak meninggi karena kesal dengan pembicaraan kakakku yang sudah ku tahu kemana arahnya.
“Begini dik.” Kakakku bersuaha untuk tenang melanjutkan pembicaraannya. Ya, adik adalah panggilan anggota keluarga kepadaku karena statusku sebagai anak bungsu di kelaurga.
Aku hanya diam. Pertanda aku sudah mulai kesal.
“Aku dan Bang Rahmat sudah mewujudkan mimpi Papa untuk sekolah di ITB dengan jurusan yang kami gemari.”
Aku hanya diam mendengar pembicaraan kakaku itu.
“Sekarang tinggal kamu satu-satunya yang bakalan mewujudkan mimpi Papa. Kamu suka sastra. Boleh kok. Tak ada yang melarang. Tapi kamu tahu kan betapa Papa menginginkan semua anak nya sukses di bidang SAINS. Kamu juga tahukan kalau Papa itu adalah lulusan terbaik di zamannya dulu. Tentunya dia juga berkeinginan anaknya seperti itu.”
Telingaku makin panas dan dadaku makin sesak menahan amarah pada nasehat-nasehat kakak ku itu. Aku pun tak bisa bertahan lama mendengarkan ceramahannya itu. Ku bantingkan gunting yang sedari tadi ku pegang. Ku biarkan kertas-kertas mading berserakan di atas meja. Siapa peduli. Ku langkahkan kakiku ke kamar meninggalkannya.
  “Mia, buka pintunya.” Kak Ratna mengetuk pintu dari luar berusaha membujukku mendengarkan nasehatnya.
Apa peduliku. Tak sepatah pun kata  ku ucapkan. Biarlah dia bosan menunggu. Barangkali sudah sepuluh menit di berdiri di balik pintu menungguku yang melunak membukakkan pintu untuknya. Tampaknya dia sudah mulai bosan. Kemudain meninggalkanku sendirian di kamar.
***
Haruskah aku mengikutikeinginan Papaku untu mengikuti kedua saudaraku? Bagaimana mungkin mereka bisa memaksa ku memilih jurusan yang tak ku inginkan. Aku. Jiwaku bukanlah di dibadng SAINS. Aku suka puisi, aku suka menulis, aku suka  hal-hal yang berbau dengan sasatra. Aku menemukan jati diriku di sini. Sastra telah mendarah daging di jiwaku. Lantas apakah aku juga harus mengubur dalam-dalam jiwaku dan hidup dengan jiwa  baru yang sama sekali tidakku sukai? Akankah aku menemukan ketenangan dengan memilih jiwa yang  baru  baru itu? Andaikan saja orangtuaku memahami akan diriku. Tidak semua orang terlahir dengan bakat dan kempintaran yang sama. Papaku adalah lulusan ITB, begitu juga dengan kedua kakaku yang melanjutkan jejajk papa dengan berkuliah di ITB. Semua anggota keluargaku seprtinya telah di anugerahkan dengan kecerdasan dibidang SAINS. Sementara aku,tak satupun kepintaran mereka ku tularkan. Aku adalah kutub magnet yang berlawanan dengan mereka. Aku cinta sastra. Aku menemukan jati diriku di sini.
***
Sudah seminggu kakaku di Bandung. Sekarang yang tinggal di rumah hanyalah aku serta Mama-Papa. Tak ada yang berubah dariku. Sekarang aku sudah kelas dua SMA jurusan IPA. Apa boleh buat Papaku meninginkan ku berada di jurusan IPA. Walaupun di tes IQ aku layaknya di tempatkan di Bahasa. Ya, apa boleh buat. Di sekolahku yang hanya ada dua jrusan waktu itu yaitu IPA dan IPS. Maka Papa pun menyarankanku masuk kelas IPA. Toh katanya niali IPA ku tak terlalu jelek. Hanya butuh belajar dengan rajin untuk mengasak kecerdasanku dibidang IPA.
Apa boleh buat, nampaknya aku tak bisa menentang keinginan Papa. Walaupun aku berada  di jurusan IPA, bakat sastrakupun tak pernah mati. Akupun semakin eksis mengikuti perlombaan menulis, puisi dan teater. Setidaknya akupun merasa nyaman berda di jurusan IPA untuk mengembangkan bakatku. Karena tidak ada lagi Papa yang tiap hari nyinyir mengningatkanku rajin belajar biar dapat kelas IPA seperti yang di laukukanoleh Papa ketika aku kelas satu dulu.
Hingga waktu SNMPTN pun aku diam-diam mengambil paket IPC. Ini semua tentu di luar pengetahuan Papa kalau aku mengambil paket IPC. Memang, ku ikuti saran Papa. Pilihan satu dan dua ku amil di ITB. Sedangkan diam-diam, pilihan ketiga ku pilih sastra Inggris UI.
Tepat satu bulan, pengumuman hasil SNMPTN dimumkan di Koran. Betapa terkejutnya papaku melihat namaku terpampang dengan manis lulus di jurusan sastra Indonesia UI. Papaku geram karena aku diam-diam mengambil formulir IPC.
Ya, sudah. Akupun semkin tidak peduli dengan kemarahan Papa. Bagaimana mungkin aku kuliah di jurusan yang sama sekali tidak aku minati. Papa berjanji gak bakalan bayar uang daftar ulangku sebagai bukti kegeramannya. Begitupun denganku. Akupun hanya mengurung diri dikamar selama seminggu. Orangtuakupun semakin khawatir akan diriku. Akhirnya papapun mengalah. Papa menabulkan kinginnanku untuk kuliah di UI dengan jurusan sastar Indonesia dengan syarat satu tahunpertama au harus membuktikan prestasiku dengan IP sempurna.
Setahunpun sudah berlaulu semenjak aku berda di UI. Janji papa untuk mendapatkan IP sempurna telah ku penuhi. Kini tidak ada lagi papa yang marah-marah menyruhku untuk memilih jurusan SAINS. Karena memang bakatku bukan disana. Aku menemukan diriku disini. Di jurusan yang aku cintai.
Semester depan aku bakalan berda di Amerika untuk setahun kedepan sebagai mahasiswa undangan belajar dan mengajar sastra. Pada program itu aku diberikan kesempatan untuk menimba ilmu di negeri paman sam itu dan mengajarkan ilmu mengenai sastra Indonsia.

No comments:

Post a Comment